BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan
dari dunia industri khususnya industri rumahan sangatlah pesat. Seperti halnya
dengan indusri penjamakan kulit. Salah satunya adalah yang bertempat di Silaing
bawah. Industri ini bergerak dibidang pengolahan kulit hewan menjadi setengah
jadi untuk dijadikan kerajinan berupa sepatu, ikat pinggang dan asesoris
lainnya. Industri ini berdiri sejak tahun 1990-an, dengan jumlah pekerja 4
orang. Dalam satu bulan mereka mampu menghasilkan satu ton kulit yang dapat
dikirim ke berbagai daerah.
Industri penyamakan kulit ini menggunakan bahan mentah
diantaranya; kulit hewan, kapur, pupuk NPK, dan kulit pohon Akasia. Kulit hewan diambil dari daerah
penghasil daging, yang dikumpulkan dari para pengumpul kulit. Kapur diambil
dari pondok kapur Bukit Tui, kapur digunakan sebagai pelunak bulu dan pelunak
daging bagian perut. Pupuk NPK untuk pelunak kulit ketika perendaman sesudah
dibuang bulunya. Kulit pohon akasia diambil dari pohon akasia yang tumbuh di
kaki gunung Merapi. Kulit ini digunakan sebagai pewarna dan pemasak kulit.
Kulit yang dihasilkan ini dijemur dan dikelola menjadi
berbagai bahan kerajinan tangan. Meskipun industri ini bergerak sebagai industri rumahan tapi
lumayan besar memberikan income pada industri. Kami mengambil industri sebagai
bahan karya ilmiah, karena industri ini berdampak pada lingkungan, seperti bau
yang menyengat dari industri. Selain dari pencemaran udara juga memberikan
dampak pada perairan karena dapat membunuh biota air seperti ikan. Dampak
lainnya memberikan kesuburan pada tanah.
Model penanganan limbah yang digunakan adalah penanganan
limbah padat dan cair sesuai dengan polutan yang dihasilkan. Produk dari model ini adalah model
pengolahan primer, pupuk kompos, dan produk krupuk serta kikil.
Adapun
topic yang kami kupas dalam karya ilmiah ini adalah; gambaran umum dari
industri, jenis pencemaran yang terjadi, polutan yang ada di industri,
dampaknya pada kesehatan manusia, dampak pada lingkungan dan model penanganan
limbah.
B.
Perumusan Masalah
1.
Sejauh manakah pencemaran yang terjadi di industri Penjamakan kulit di Silaing
Bawah.
2.
Bagaimanakah model penanganan limbah yang dapat dibuat di industri penjamakan
kulit.
C.
Tujuan karya ilmiah
1. Memberikan gambaran tentang pencemaran lingkungan yang
terjadi di industri penjamakan kulit
2. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang upaya
penanggulan dari industri penjamakan kulit.
3. Memberikan model penanganan limbah yang dapat
digunakan masyarakat khususnya industri penjamakan kulit.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tempat dan Waktu Pengambilan Data
1. Tempat pengambilan data
Tempat
pengambilan data : industri penjamakan kulit yang bertempat di silaing bawah.
2. Waktu pengambilan data
Waktu pengambilan data : dilakukan
pada hari Senin tanggal 16 November 2009 pada jam 16.00 WIB.
B. Gambaran industri Penjamakan
kulit
Industri
penjamakan kulit merupakan industri yang bergerak di bidang pembersihan kulit
hewan untuk dapat dijadikan sebagai bahan kerajinan seperti buat dompet,ikat
pinggang,tas,dan kerajinan lainnya. Industri ini bergerak mulai dari tahun
90-an dengan banyak pekerja 4 orang. Untuk mendapatkan kulit yang bersih dan
bagus industri ini menggunakan bahan tambahan seperti kapur, pupuk NPK, dan
kulit dari pohon akasia. Adapun proses penjamakn kulit adalah sebagai berikut:
- Memilih kualitas kulit yang bagus
Untuk mendapatkan kulit yang
berkualitas terlebih dahulu pekerja mensortir kulit dengan cara memisahkan kult
yang masih utuh dengan yang sudah robek. Kedua kulit ini ditempatkan di tempat
yang terpisah. Kulit yang bagus selanjutnya di rendam dengan air bersih selama
satu hari satu malam untuk menghilangkan garam yang menempel. Kulit yang robek
di oleh menjadi kerupuk kulit.
- Tahap perendaman dengan kapur
Kulit yang telah dibersihkan dari
kadar garamnya, selanjutnya di rendam dalam bak kapur selama 15 hari. Tujuan
dari perendaman ini adalah untuk melunakkan kulit supaya bulunya bisa lepas
dari kulitnya, dan melunakkan sisa-sisa daging yang masih menempel pada kulit.
Satu minggu kulit di rendam dalam kapur dan diangkat untuk membersihkan
bulu-bulu yang menempel. Setelah itu direndam ladi selama seminggu untuk
membuang daging yang menempel pada kulit. Kemudian diangkat untuk dikelola pada
tahap selanjutnya.
- Tahap perendaman dengan pupuk NPK dan dengan kulit pohon akasia
Tahap ini merupakan lanjutan dari
tahap ke dua dengan tujuan untuk melunakkan kulit selama satu hari satu malam.
Kemudian kulit dimasukan ke dalam bak yang berisi larutan kulit akasia selama
40 hari. Setela 40 harikulit diangkat, dan langsung dijemur. Setelah kulit
tersebut kering kemudian kulit yang setengah jadi tersebut dikirim ke para
pengerajin kulit yang ada di daerah-daerah yang banyak terdapt pengerajin kulit
seperti di Bukit Tinggi dan disekitar tempat tinggalnya. Umumnya dalam waktu
satu bulan industri ini dapat menghasilkan kulit sekitar 4 ton.
C. Jenis pencemaran yang terjadi
Pencemaran
yang terjadi pada industri ini adalah pencemaran udara dimana menghasilkan bau
kulit hewan yang sangat menyengat. Selain itu juga terjadi pencemaran air karena
menghasilkan buangan dari limbah NPK, kapur, dan sisa air dari bekas perendaman
kulit akasia. Walaupun industri ini memberikan dampak pada air dan udara namun
pada tanah dapat menyuburkan.
D. Jenis polutan
Berdasarkan
wujutnya polutan diindustri penjamakan kulit dapat berupa padat
seperti:kapur,kulit akasia, bulu hewan, dan sisa dari perutnya. Polutan yang
berupa cair seperti:air kapur, NPK,dan air bekas perendaman kulit
akasia,polutan yang berupa gas seperti:bau.
Berdasarkan
jenis senyawa polutan berupa senyawa organik seperti: kulit akasia, bulu hewan,
sisa-sisa daging perut. Polutan berupa senyawa anorganik
seperti:air kapur, dan limbah NPK. Berdasarkan bahan berbahaya polutannya
termasuk bahan yang tidak berbahaya.
E. Dampak pencemaran terhadap
kesehatan manusia
Smpai
saat sekarang ini belum ada kasus yang menunjukan industri ini memberikan
dampak buruk pada kesehatan manusia,hal ini dikarenakan industri tidak
menggunakan bahan yang berbahaya.
F. Dampak pencemaran terhadap
lingkungan
Industri
penjamakan kulit memberikan dampak pada lingkungan berupa:bau yang menyengat
yang berasal dari tumpukan kulit dan sisa dari olahan kulit. Selain dari itu
bila limbah cairnya masuk ke perairan akan memberikan dampak eutrofikasi yaitu
pertumbuhan ganggang yang pesat yang disebabkan oleh kulit akasia,dan pupuk
NPK. Selain itu juga memberikan dampak pada biota air seperti:ikan,zooplankton,
dan mikro organisme lainnya. Serta meningkatkan kekeruhan air di perairan
sekitar.
Namun tidak memberikan dampak pada
tanah karena sisa-sisa dari limbah organiknya diolah menjadi pupuk.
G.
Penanggulangan Pencemaran Lingkungan
Untuk mngurangi dampak pencemaran
industri terhadap udara dan air ada
beberapa langkah yang dapat ditempuh
sebagai berikut:
1.
sisa limbah organik diolah menjadi pupuk kompos. Selai menjaga lingkungan juga
dapat memberikan tambahan income bagi industri.
2.
limbah yang berupa cairan sebelum dibuang ke badan air terlebih dahuli
dimasukan ke dalam kolam penampungan untuk disaring dan dibersihkan dari
senyawa anorganik.
3.
limbah yang berupa bulu hewan dapat dibakar.
4.
limbah bekas daging yang tersisa bisa dijadikan pakan lele, dibuat kerupuk
kulit dan kikil.
H. Model Penanganan Limbah
Untuk menangani limbah dari industri
penjamakan kulit digunakan teknik pengolahan limbah padat dan limbah cair
sesuai dengan limbah yang dihasilkan industri. Prosedur dan sisa limbah
digambarkan dalam gambar 1.
Adapun skema
penanganan limbah industri dan posisi dari industri di pemukiman penduduk dapat
diliha dalam gambar 2 dan 3.
Gambar 2
Gambar 3
Penangan limbah padat menggunakan
teknik pembuatan pupuk kompos, yaitu mencampurkan limbah seperti bulu, kulit
akasia, sisa daging ke dalam drum yang berisi air. Untuk mempercepat proses
pengomposan ditambahkan bakteri seperti larutan EM4 atau MOL atau bakteri rumen
dalam usus hewan lalu ditutup rapat sampai terbeuk pupuk cair. Prosedur
pembuatan pupuk dapat di lihat pada gambar 4.
Gambar 4
Penanganan limbah cair menggunakan
pengolahan primer
Karna limbah cair
hanya mengandung polutan yang dapat disingkirkan melalui pengolaha primer maka
limbah dapat langsung di buang ke perairan.
Tahap
pengolahan primer limbah cair sebagian besar adalah berupa proses pengolahan
secara fisik. Pertama, limbah yang mengalir melalui saluran pembuangan disaring
dengan menggunakan jeruji saring (bar screen). Metode ini di sebut penyaringan
(screening). Metode penyaringan merupakan cara yang efisien dan
murah untuk menyisihkan bahan-bahan berukuran besar dari air limbah. Kedua,
limbah yang telah disaring kemudian akan disalurkan ke suatu tangki atau bak
yang berfungsi untuk memisahkan pasir dan partikel padat tersuspensi lain yang
berukuran relatif besar. Tangki ini dalam bahasa inggris disebut grit
chamber dan cara kerjanya adalah dengan memperlambat aliran limbah
sehingga partikel-partikel pasir jatuh ke dasar tangki sementara air limbah
terus dialirkan untuk proses selanjutnya. Kedua proses yang dijelaskan di atas
sering disebut juga sebagai tahap pengolahan awal
( pretreatment
).
Setelah melalui
tahap pengolahan awal, limbah cair akan dialirkan ke tangki atau bak
pengendapan. Metode pengendapan adalah metode pengolahan utama dan yang
paling banyak digunakan pada proses pengolahan primer limbah cair. Di tangki
pengendapan, limbah cair didiamkan agar partikel-partikel padat yang
tersuspensi dalam air limbah dapat mengendap ke dasar tangki. Endapan partikel
tersebut akan membentuk lumpur yang kemudian akan dipisahkan dari air limbah ke
saluran lain untuk diolah lebih lanjut seperti bahan pencampur pembuatan
kompos.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Jenis pencemaran yang terjadi yang diakibatkan dari industri penjamakan kulit
yaitu pencemaran air yang berasal dari pembuangan sisa air kulit akasia, kapur,
dan NPK dan pencemaran udara yang berasal dari kulit hewan, polutan berupa gas,
kulit hewan, sisa pupuk NPK, kapur, kulit akasia, dan sisa perut hewan yang
diambil kulitnya.
2.Tidak
Memberikan Dampak Pencemaran Terhadap Kesehatan Manusia.
3.Dampak
Pencemaran Terhadap Lingkungan yaitu memberikan bau pada lingkungan sekitar,
mencemari air, dan membunuh biota air.
4.Penanggulangannya
yaitu mengelola buangan industri menjadi pupuk dan sisa lainnya bagus ditumpuk
pada suatu tempat supaya tidak mencemari lingkungan.
5.Model
penanganan limbah yang digunakan berfokus pada penanganan limbah padat dan cair
yaitu pupuk kompos dan pengolahan primer.
B. Saran
Untuk menjaga lingkungan di sekitar
tempat industri, maka bagi pekerja jangan membuang limbah industri ke badan air
supaya tidak merusak lingkungan sekitar. Mode penanganan limbah ini dapat
diaplikasikan pada industri yang bergerak pada penjamakan kulit .
134
Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No.
2, Desember 2009, pp. 134-147
ISSN 1411-2485
MODEL DINAMIS PENGELO
LAAN SAMPAH UNTUK
MENGURANGI BEBAN PENUMPUKAN
Isti Surjandari, Akhmad Hidayatno,
Ade Supriatna
Fakultas Teknik, Departemen Teknik Industri, Universitas
Indonesia
Kampus UI Depok, Jakarta 16424
Email: Surjandari.2@osu.edu, akhmad@e
ng.ui.ac.id, adesupriatna@yahoo.com
ABSTRAK
Tingginya volume sampah yang dihasilkan baik
oleh industri maupun masyarakat merupakan
permasalahan umum yang dijumpai di hampir semua
kota, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.
Disamping dipengaruhi oleh daya beli masyarakat,
permasalahan tingginya volume sampah juga dipengaruhi
oleh tingkat pertumbuhan penduduk. Permasalahan ini semakin
dipersulit dengan terbatasnya Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) yang tersedia. Untuk itu diperlukan
suatu alternatif pengelolaan sampah yang
dapat menurunkan tingkat penumpukan sampah di TPA. Dalam
penelitian ini dilakukan analisis pengelolaan
sampah untuk mengurangi beban penumpukan sampah di TPA
dengan menggunakan simulasi berdasarkan
pendekatan sistem dinamis. Hasil simulasi selanjutnya akan
digunakan untuk melihat kelayakan dari setiap
alternatif pengelolaan sampah berdasarkan perhitungan
Cost-Benefit ratio
(B/C), sedangkan untuk
mengetahui pandangan masyarakat terhadap alternatif
pengolahan sampah (dilihat dari aspek sosial,
ekonomi, lingkungan dan teknologi), maka dilakukan pula proses
pembobotan dengan
Analytic Hierarchy
Process
(AHP). Sebagai studi kasus dipilih TPA Bantar Gebang yang
berfungsi untuk menampung sampah
yang dihasilkan oleh DKI Jakarta. Dengan menggunakan
simulasi didapatkan proyeksi sampah yang
dihasilkan dan akan dibuang ke TPA Bantar Gebang untuk
berbagai skenario hingga tahun 2025.
Berdasarkan hasil analisa, baik dengan sistem dinamis maupun
dengan
Analytic Hierarchy Process
(AHP)
dan
Benefit-Cost ratio
(B/C), maka sebaiknya pengelolaan sampah di DKI dilakukan
secara bertahap,
pertama adalah dengan pengomposan dan kemudian dengan
incenerator
.
Kata kunci:
kompos,
incenerator
,
recycle
, simulasi, sistem dinamis.
ABSTRACT
The high volume of waste generated by both industry and
society is a common problem found in almost
all cities, especially in big cities
like Jakarta. It is influenced by purchasing power and level
of population
growth. This problem become worse with the limited landfill
(
TPA
)
which are available. Therefore, it is
required for an alternative waste m
anagement that can reduce waste level in
TPA. The objective of this study
is to analyze waste management that can reduce the wa
ste level in TPA using simulation based on dynamic
system. Simulation results will then be used to look
at the feasibility of each alternative waste management
based on Cost-Benefit ratio
(
B/C
)
, whereas to determine the public's
perception of alternative waste
treatment
(
in terms of social, economic, environmental and
technological aspects
)
, a weighting process will
be done using the Analytic Hierarchy Process
(
AHP
)
. TPA Bantar Gebang which serves to accommodate
waste generated in Jakarta was chosen as a case study
. Using simulation, projection of waste disposed to
TPA Bantar Gebang for different scenarios to the year
2025
were obtained. Based on the dynamic
simulation, AHP, and B/C analysis, the study shows that the
waste management should be done in two
stages, first is by composti
ng and then with incenerator.
Keywords:
composting, incinerator, recycle, simulation, dynamic system
.
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
135
1.
PENDAHULUAN
Tingkat pertumbuhan penduduk sangat
berpengaruh pada volume sampah yang merupakan
hasil dari konsumsi penduduk. Se
bagai kota metropolitan, Jakart
a pada tahun 1985 menghasilkan
sampah sejumlah 18500 m
3
per hari dan pada tahun 2000
meningkat menjadi 25700 m
3
per hari.
Jika dihitung dalam setahun, maka
volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi
Borobudur (volume Candi Borobudur =
55000 m
3
). Luas lahan yang tersedia adalah
108 ha, TPA
Bantar Gebang Bekasi harus menampung
6000 ton per hari (setara dengan
25650 m
3
). Sampah
6000 ton tersebut yang dapat di
recycle
atau diolah kembali hanya sebesar
1000 ton per hari dan
dari 1000 ton tersebut hanya 450 ton
saja yang dapat di olah kembali (Walhi, 2006).
Dalam hal ini, penyelesaian masalah sampah
membutuhkan adanya kerja sama yang
baik
antara semua pihak yang terkait.
Paradigma pe
ngelolaan sampah juga harus
didasarkan pada
konsep pengelolaan sampah yang
mendukung pr
insip-prinsip pembangunan yang
berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan. Dalam hal
ini, pemerintah sebagai regulator harus bisa memayungi
permasalahan sampah dengan baik dan
benar.
Berkaitan dengan permasalahan sampah
di DKI Jakarta, maka Pemerintah daerah (Pemda)
DKI Jakarta perlu mencari alternatif
pengelolaan
sampah. Alternatif tersebut
diharapkan dapat
mempermudah Pemda DKI Jakarta untuk
memperoleh kebijakan pengelolaan sampah yang
bukan hanya meminimalkan penumpukan
sampah tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspek
terkait, seperti sosial, ekonomi,
lingkungan
dan teknologi. Penelitian ini
bertujuan untuk
memperoleh kebijakan yang sebaiknya
diambil oleh Pemda DKI Jakarta dalam pengelolaan
sampah dengan menggunakan simulasi
sistem dinamis (
dynamic system simulation
). Sebagai
studi kasus dipilih Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan masukan dalam
pengelolaan sampah
di TPA Bantar Gebang, sehingga tidak
terjadi
penumpukan sampah yang akan
berakibat me
ningkatnya polusi air, tanah dan
udara.
2.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan
simulasi berdasarkan sistem dinamis dan
Analytic
Hierarchy Process
(AHP) untuk menganalisis alternatif
pengelolaan sampah yang dapat
mengurangi tingkat penumpukan sampah
di TPA Bantar Gebang. Sistem dinamis merupakan
suatu cara berpikir tentang sistem
sebagai jaringan yang saling behubungan yang mempengaruhi
sejumlah komponen yang telah
ditetapkan dari
waktu ke waktu. Simulasi merupakan
prosedur
kuantitatif yang menggambarkan suatu
pros
es dengan mengembangkan suatu model
dan
menerapkan serangkaian uji coba
terencana untu
k memprediksikan tingkah laku proses
sepanjang
waktu, sehingga analisis dapat
dilakukan untuk sistem yang baru tanpa harus membangunnya atau
merubah sistem yang telah ada, serta
tidak perl
u mengganggu operasi dari sistem
tersebut. Pada
umumnya simulasi digunakan untuk
model-model dinamis yang melibatkan periode waktu ganda
(Randers, 2000).
Simulasi untuk berbagai alternatif
pengelolaa
n sampah ini akan dilakukan dengan
berbagai
skenario untuk melihat proyeksi
penurunan tingkat penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang
hingga tahun 2025. Hasil simulasi
selanjutnya akan
digunakan untuk melihat kelayakan
dari setiap
alternatif pengelolaan sampah
berdasarkan perhitungan
Break Event Point
(BEP),
Cost-Benefit
ratio
(B/C), dan
Return Investment
(ROI).
Jika sistem dinamis hanya
menggambarkan ke
terkaitan komponen-komponen dalam
sistem
pengolahan sampah tanpa
mempertimbangkan ke
inginan masyarakat, maka AHP
diharapkan
dapat menutupi kelemahan ini.
Kuesioner dibe
rikan kepada beberapa responden
(konsultan,
manajer kontraktor pengolahan
sampah, dinas
kebersihan DKI Jakarta) untuk
mengetahui
pandangan masyarakat terhadap
alternatif pengolah
an sampah (dilihat dari
aspek sosial, ekonomi,
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
136
lingkungan dan teknologi). Hasil
kuesioner ini
kemudian diolah guna mendapatkan
pembobotan
dengan menggunakan AHP untuk
selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas terhadap alternatif
pengolahan sampah yang di pandang
layak oleh ma
syarakat melalui bobot tertinggi
(Saaty, 1999).
Penggunaan sistem dinamis, AHP dan
juga B/C diharapkan dapat memberikan gambaran
secara utuh baik dari segi komponen
pengol
ahan sampah, finansial maupun
keinginan
masyarakat. Hal ini yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya
yang hanya melihat sistem pengolahan
sampah dari sudut pandang tertentu saja dan tanpa
menggunakan sistem dinamis; seperti
penelitian Amurwaraharja (2003) tentang pengolahan
sampah yang hanya melihat dari sudut
pandang masyarakat, atau penelitian yang dilakukan oleh
Fitria (Fitria
et al.
, 2009) yang membahas mengenai
penentuan rute truk pengumpulan dan
pengangkutan sampah dengan
menggunakan
Vehicle Routing Problem
.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Model Pengolahan Sampah
Sebelum pembuatan model pengolahan
sampah, perlu diketahui beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya timbunan
sampah. Hal ini diperlukan untuk pembuatan
causal loop
seperti terlihat pada Gambar 1.
Causal loop
selanjutnya menjadi dasar kerangka
berpikir dalam
pembuatan model pengelolaan sampah.
Model pe
ngolahan sampah dibuat dengan
menggunakan
bantuan perangkat lunak
Powersim
. Model ini dibuat berdasarkan empat
alternatif pengolahan
sampah, yaitu:
recycle
(daur ulang),
landfill
, pengomposan dan
incenerator
(pembakaran).
Diagram ini meliputi unsur (sistem
proses
descriptors
) dan panah, yang dikenal sebagai
mata
rantai
causal
, yang menghubungkan berbagai
unsur bersama-sama. Hubungan
causal
antara satu
unsur dengan unsur lain adalah
positif jika
perubahan ini bersifat bersamaan,
artinya jika A
meningkat maka menyebabkan
peningkatan B, atau sebaliknya, jika terjadi penurunan A maka
akan menyebabkan penurunan B pula.
Hubungan ini disebut
same direction
(s). Sebaliknya jika
hubungan
causal
antara satu unsur dengan unsur lain
adalah negatif, maka jika terjadi peningkatan
terhadap unsur A akan menyebabkan
penurunan unsur B. Hubungan ini disebut juga dengan
opposite direction
(o) (Deaton, 2000).
Pada penelitian ini faktor-faktor
yang dipilih
lebih dititik beratkan pada metode
pengolahan
sampah. Peningkatan jumlah penduduk
yang dibare
ngi dengan peningkatan jumlah sampah
akan
mempengaruhi jumlah sampah yang
harus dipilah
agar proses pengolahan lebih mudah,
baik
berdasarkan jenis sampah (sampah
organik
dan anorganik) maupun manfaatnya
(untuk
recycle
,
kompos, dan sebagainya).
Sebagai alternatif pengolahan,
recycle
memanfaatkan sampah anorganik, dan
proses ini
sebenarnya hanya menunda atau
mencegah mate
rial sampah anorganik menumpuk di
TPA.
Sedangkan kompos memanfaatkan sampah
organik dan mampu mereduki sampah sebesar 62,5%
dari total sampah (jumlah sampah
anorganik dengan organik). Pembakaran atau
incenerator
dapat
mereduksi 84% dari total sampah, dan
abu hasil pembakaran dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan batako. Proses-proses ini
dapat menekan laju timbunan sampah di TPA Bantar
Gebang.
Produk yang mempunyai nilai
komersial da
pat dijual dan menghasilkan profit
sebagai pemasukan bagi pihak
pengelola baik Pemda maupun swasta
. Hal ini dapat pula
merangsang minat swasta untuk
menginvestasikan dananya dalam hal pengadaan teknologi baru
pengolah sampah. Pengolahan sampah
juga membutuhkan biaya operasional seperti gaji tenaga
kerja. Biaya operasional ini akan
mengur
angi profit yang didapat (Prakosa,
2003).
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
137
mi nat
masyarakat
unt uk memi l ah
JUMLA
H
SAMPAH DI
T
PA
/
TP
S
Jumlh
Sampah yg
dihasilkan
Jumlah
Produk
Komersial
Dari Sam
p
a
h
Volume
sampah yg
terpilah
Retribusi
Jumlah
Penjualan
Produk dari
sampah
Provitabilitas
Teknologi
Pengolahan
sampah
Jumla
h
Operator
Swasta
Pendapatan
Pemerintah
Daerah
S
Biaya
Pengolahan
Sampah
Investasi
Persampahan
Jumlah
Penduduk
O
S
O
O
S
S
S
S
Minat Inves t as i
Persampahan
S
S
S
S
S
S
S
S
S
Jumlah
sampah
Anorganik
Jumla
h
sampah yg
dibaka
r
Jumlah
sampah yg
dibuat
kompos
Jumlah
Sampah yg
direcycle
Jumlah
sampah
organik
S
S
S
S
S
O
sampah tak
terolah
S
S
S
S
jumlah abu
yg dihslkan
utk batako
S
S
Jumlah
masyarakat yg
memi l ah
S
O
S
O
Pendapatan
hsl penjualan
produk dr
sampah
S
T
imbuna
n
sampah di
T
PA
/
TP
S
S
S
Perda no 3
Pasal 110 ttg
Retribusi
S
Peraturan
Pemerintah
(PP) No. 16
Tahun 2005
S
UU/Perda ttg
kewajiban
memi l ah
S
Gambar 1.
Causal
loop diagram
Berdasarkan
causal loop
di atas, maka kemudian model
dibangun dari empat unsur
fundamental
building blocks
, seperti terlihat pada Tabel 1,
sedangkan Gambar 2 memperlihatkan
ilustrasi untuk proses pertumbuhan
sampah.
Tabel 1.
Fundamental
building blocks
untuk pembentukan model
Nama Gambaran Simbol
Level
Komponen sistem dimana sesuatu
terakumulasi. Isi dari
reservoir
atau level
mungkin naik atau turun seiring
waktu.
Flows
Aktivitas yang menentukan nilai
reservoir
atau
level.
Rate_1
Auxilary
Sistem yang menentukan tingkat
proses
beroperasi dan
reservoir/
level berubah.
Konstanta Variabel dasar yang
merupakan nilai tetap atau
tidak bervariasi, kecuali ada input
kontrol.
Link
Penentuan hubungan
cause effect
antara
komponen yang berbeda dari sistem.
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
138
Rate_1
Rate_1
Pembuangan di
sumber sampah
Sampah per
orang
Pengumpulan
sampah dari
sumbernya
Penduduk
Rate_1
Pertumbuhan
Sampah
Gambar 2.
Ilustrasi pertumbuhan sampah
Ilustrasi pada Gambar 2
menggambarkan akumulasi dari jumlah penduduk yang dikalikan
dengan sampah per orang akan
mempengaruhi
pertumbuhan sampah yang terus
berakumulasi
pada pembuangan di sumber sampah
tersebut yang selanjutnya akan dikumpulkan kembali untuk
masuk pada proses selanjutnya.
Pengembangan ilustrasi tersebut
dengan tetap berdasarkan pada
causal loop diagram
yang
ada, maka dibuatlah model pengolahan
sampah seperti ditunjukkan pada Gambar 3, 4, 5 dan 6
berikut.
1.
Pengolahan Sampah dengan
Landfill
Pada
Landfill
sebenarnya sampah tidak dimusnahkan
secara langsung, namun dibiarkan
membusuk menjadi bahan organik.
Metode penum
pukan bersifat murah dan sederhana,
tetapi
menimbulkan beberapa risiko antara
lain: be
rjangkitnya penyakit menular,
menyebabkan
pencemaran (terutama bau dan
kotoran) (Kholil, 2006).
Gambar 3.
Model pengolahan sampah dengan
landfill
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
139
Gambar 4
. Model pengolahan sampah dengan
recycle
2.
Pengolahan Sampah dengan
Recycle
Merupakan salah satu strategi
pengelolaan sampah
padat yang terdiri atas kegiatan
pemilahan,
pengumpulan, pemrosesan,
pendistribusian da
n pembuatan produk/material bekas
pakai.
Proses
recycle
dipengaruhi oleh faktor fraksional
(persentase) kemampuan memilah,
waktu
pengiriman dan waktu pengolahan.
Sifat dari
recycle
adalah menunda penumpukan sampah
yang sifatnya anorganik, maka lambat
laun hasil atau produknya pun akan menjadi sampah
kembali. Sampah anorganik yang
berjumlah 44%, jika
recycle
sampah sebesar 25% dari
jumlah sampah yang ada ditambah
dengan peran pemulung yang melakukan pengangkutan
untuk
recycle
secara informal sebesar 5 ton/bulan
per orang, dan diasumsikan
delay
6 bulan,
maka proses
recycle
mampu menekan masuknya sampah yang
dihasilkan masyarakat.
Sebagai contoh proyeksi pada tahun
2025, sampah yang dihasilkan sebesar 83528 ton/bulan
atau 1002348 ton pada tahun
tersebut, hanya 636877 ton yang masuk ke TPA Bantar Gebang
dengan adanya
recycle
.
3.
Pengolahan Sampah dengan Kompos
Pengolahan sampah dengan pengomposan
merupakan cara penumpukan sampah pada lubang
kecil dalam jangka waktu tertentu
untuk me
nghasilkan pupuk yang alamiah atau
proses
dekomposisi yang dilakukan oleh
mikroorganisme terhadap buangan organik yang
biodegradable
(Subandi, 2006). Pemanfaatannya
dapat membantu DKI Jakarta yang
mempunyai program hutan kota. Selain
itu, l
okasi tanam yang semakin berkurang
di rumah-
rumah masyarakat membutuhkan media
tana
m lain sebagai penyubur tanaman.
Hasil
pengomposan dapat digunakan sebagai
unsur hara untuk penanaman dalam pot. Kompos
yang terbuat dari sampah organik
dapat pula berfungsi untuk mereduksi timbunan sampah.
Mengingat 55% sampah penduduk DKI
Jakarta adalah sampah organik, maka pembuatan
kompos akan mengurangi suplai sampah
ke TPA Bantar Gebang. Sama halnya dengan
recycle
, pengomposan juga membutuhkan
pemilahan. Perbedaannya adalah hasil ataupun
produk pengomposan ini tidak kembali
menjad
i sampah. Komposisi sampah penduduk
DKI
Jakarta rata-rata menghasilkan 55,5%
sampah
organik dari total sampah yang
dihasilkan
(26264 m³/tahun). Jika sampah
organik tersebut mampu diolah seluruhnya, maka akan dapat
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
140
menurunkan jumlah sampah di TPA
Bantar Gebang. Sebagai contoh pada tahun 2025 di-
proyeksikan akan terdapat 5 ton
sampah, turun sebesar 807412 ton jika dibandingkan dengan
pengolahan sampah dengan
landfill
(pada tahun 2025 sampah di TPA sebesar
795088 ton).
Artinya, pengolahan sampah menjadi
kompos in
i mampu mereduksi sampah di TPA
sebesar
21,56%.
Gambar 5.
Model pengolahan sampah dengan
kompos
4.
Pengolahan Sampah dengan
Incenerator
Cara ini mampu mengurangi timbunan
sampah di TPA Bantar Gebang sebesar 62,6%.
Metode ini dapat dilakukan hanya
untuk sampah yang dapat dibakar habis. Harus diusahakan
jauh dari pemukiman untuk
menghindari pencemaran (asap dan bau) dan kebakaran.
Pembakaran sampah menghasilkan
dioksin
, yaitu ratusan jenis senyawa kimia
berbahaya,
yang mampu memperpanjang umur zona
landfill
dari dua tahun menjadi 4,5 tahun.
Pada
model yang ditunjukan pada Gambar 6,
terlihat bahwa
incenerasi
dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti waktu pengirima
n dan fraksional atau persentase
pembakaran. Kecepatan
pengolahan sampah ini akan
mengurangi beban penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang.
Jika sampah yang diolah semakin
banyak maka akan mengurangi sampah yang akan dibuang
ke TPA Bantar Gebang, sehingga
semakin rendah suplai sampah ke TPA dan semakin lama
pula zona yang akan dipakai sebagai
wadah
landfill
. Berbeda dengan
recycle
dan
pengomposan yang hanya bisa
dilakukan terhad
ap sampah anorganik atau organik
saja,
incenerator
dapat dilakukan terhadap kedua jenis
sampah tersebut, kecuali anorganik yang
bersifat logam dan kaca, karena itu
pula
penurunan jumlah sampah di TPA
dengan
incinerator
cukup signifikan.
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
141
Gambar 6.
Model pengolahan sampah dengan
incenerator
Kondisi normal pengolahan sampah
dengan
recycle
memerlukan waktu pengangkutan 2
minggu sekali (0,5 bulan), waktu
daur ulang satu minggu sekali (0,25 bulan) dengan asumsi
sampah yang dapat diolah 100% dari
sampah anorganik yang berjumlah 44% penumpukan
sampah dapat dikurangi sebesar 20%.
Pada skenar
io baru, waktu suplai di percepat
yaitu satu
minggu sekali atau 0,25 bulan,
sedangkan waktu daur ulang dan fraksional daur ulang
diasumsikan tetap. Skenario baru
recycle
mampu mengurangi penumpukan sampah
sebesar
30,4% atau 10,4% lebih besar dari
kondisi normal. Begitu pula dengan pengolahan sampah
lainnya. Besar variabel antara
kondisi normal dan skenario baru seperti terlihat pada Tabel 2,
menghasilkan persentase pengurangan
timbunan sa
mpah di TPA Bantar Gebang yang
berbeda.
Perbedaan ini dapat dilihat pada
Tabel 3 dan Gambar 7.
20%
21.60%
62.10%
63.80%
22.80%
64.50%
65.80%
30.40%
52.20%
66.10%
66.10%
63.00%
66%
66%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Recycle
Kompos Incenerasi
Recycle,
kompos dan
Incnerasi
Recycle
dan kompos
Recycle
dan
Incenerasi
kompos dan
Incenerasi
Alternatif Pengolahan Sampah
Persentase
Penurunan
sampah
Persentase Pengurangan Sampah
Perubahan Konidisi
Persentase Pengurangan Sampah
Kondisi
Gambar 7.
Perbandingan penurunan sampah pada
kondisi normal dengan baru
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
142
Tabel 2.
Skenario pengolahan sampah pada
kondisi normal dan baru
Alternatif pengolahan Variabel Kondisi normal
Skenario baru
Waktu daur ulang 0,25 bulan
0,25 bulan
Waktu suplai untuk
recycle
0,5 bulan
0,25 bulan
Kapasitas pemulung per orang 0,01
0,01
Recycle
Fraksional daur ulang 0,04
0,44
Waktu produksi kompos 1 bulan
0,25 bulan
Kompos
Fraksional kompos 55%
55%
Fraksional
incenerator
84% 84%
Incenerasi
Waktu pengiriman 0,25 bulan 0,25 bulan
Waktu produksi kompos 1 bulan
0,25 bulan
Waktu daur ulang 0,25 bulan
0,25 bulan
Waktu suplai untuk
recycle
0,5 bulan
0,5 bulan
Fraksional daur ulang 2%
2%
Fraksional kompos 13%
0,13
Kapasitas pemulung per orang 0,01
0,001
Fraksional
incenerator
84%
0,84
Recycle,
kompos dan
incenerasi
Waktu pengiriman 0,25 bulan
0,25
Waktu produksi kompos 1 bulan
0,25 bulan
Waktu daur ulang 0,25 bulan
0,25 bulan
Waktu suplai untuk
recycle
0,5 bulan
0,5 bulan
Fraksional daur ulang 30 %
44 %
Recycle
dan kompos
Fraksional kompos 55 %
55 %
Waktu daur ulang 0,25 bulan
0,25 bulan
Waktu suplai untuk
recycle
0,5 bulan
0,25 bulan
Fraksional daur ulang 0,15
0,15
Fraksional
incenerator
84%
84%
Recycle
dan
incenerasi
Waktu pengiriman 0,25 bulan
0,25 bulan
Waktu produksi kompos 1 bulan
0,25 bulan
Fraksional kompos 15%
15%
Kapasitas pemulung per orang 0,01
0,01
Fraksional
incenerator
84%
84%
Kompos dan
incenerasi
Waktu pengiriman 0,25 bulan
0,25 bulan
Tabel 3.
Proyeksi tingkat penurunan sampah di
TPA pada kondisi normal dan baru
Alternatif pengolahan
Persentase pengurangan
sampah normal
Persentase pengurangan
sampah baru
Recycle
20,0 30,4
Kompos 21,6 52,2
Incenerasi
62,1 66,1
Recycle,
kompos dan
incnerasi
63,8 66,1
Recycle
dan kompos 22,8 63,0
Recycle
dan
incenerasi
64,5 66,0
Kompos dan
incenerasi
65,8 66,0
Perbandingan persentase penurunan
sampah
di TPA pada kondisi normal dengan
kondisi
perubahan skenario di tunjukkan pada
Gambar 7, dimana terlihat penurunan sampah yang cukup
signifikan.
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
143
3.2
Analisis Sensitivitas Hasil Studi
AHP
Setelah disusun hirarki proses
pengolahan
sampah berdasarkan empat aspek
(sosial,
ekonomi, lingkungan dan teknologi)
dengan masing
-masing aspek terdiri dari empat
alternatif
(
recycle
, kompos,
landfill
dan
incenerator
) seperti terlihat pada Gambar 8,
disusunlah kuesioner
untuk mengetahui sudut pandang
masyarakat terhadap pengolahan sampah. Kemudian dilakukan
pengolahan data dengan metode AHP
untuk menentukan skala prioritas pengolahan sampah
menurut masyarakat dilihat dari
empat aspek tersebut. Hasil pembobotan dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak
expert choice
, memperlihatkan bahwa aspek sosial
mempunyai
preferensi yang paling tinggi
(53,8%), diikuti
dengan aspek lingkungan (26%),
ekonomi (14,3%)
dan teknologi (5,9%). Adapun skala
prioritas alternatif pengolahan sampah yang tertinggi adalah
pengomposan (42,5%),
recycle
(30,2%),
incenerator
(21,5%) dan
landfill
(5,8%).
Hasil análisis sensitivitas
memperlihatkan bahwa tidak ada perubahan pada alternatif
pengolahan sampah berdasarkan
pendapat masyar
akat seperti ditunjukkan pada Gambar
9.
Dengan kata lain, masyarakat tetap
berpendapat bahwa pengomposan merupakan alternatif utama
yang sebaiknya dilakukan oleh Pemda
DKI Jakarta dalam pengolahan sampah.
Analisis sensitivitas dilakukan
terhadap empat aspek, yaitu sosial, lingkungan, ekonomi dan
teknologi. Jika diasumsikan di masa
depan terjadi peningkatan preferensi terhadap aspek sosial
sehingga nilai bobot aspek sosial
mencapai 82,8%, maka alternatif pengomposan merupakan
prioritas utama yang sebaiknya
diterapkan dalam kegiatan pengolahan sampah di Jakarta dengan
nilai bobot 41,1%. Hal ini berarti
bahwa jika
kondisi yang dihadapi mengharuskan
penentuan
teknologi pengolahan sampah dititik
beratkan kepada membuka kesempatan kerja, meminimalkan
potensi konflik yang mungkin
terjadi, menciptaka
n peluang berusaha bagi masyarakat,
membuka
peluang kepada sektor informal dan
formal unt
uk terlibat, serta dapat
meningkatkan peran serta
masyarakat, maka pengomposan adalah
prioritas utama untuk diterapkan di DKI Jakarta.
Keterangan
A1 Penyerapan tenaga kerja
A2 Potensi konflik dengan masyarakat
rendah
A3 Menumbuhkan lapangan usaha
A4 Menumbuhkan sektor formal
dan/atau informal
A5 Penguatan peran serta masyarakat
A6 Investasi rendah
A7 Biaya operasional rendah
A8 Menghasilkan PAD yang tinggi
A9 Minimal dalam menimbulkan
pencemaran air
A10 Minimal dalam menimbulkan
pencemaran udara dan
bau
A11 Minimal dalam menimbulkan
pencemaran tanah
A12 Minimal dalam menimbulkan
habitat bibit penyakit
A13 Minimal dalam menurunkan
estetika/keindahan
lingkungan
A14 Kesesuaian dengan arahan
pengembangan kota
A15 Tingkat efektifitas dalam
mengurangi tumpukan
sampah
A16 Dapat mengatasi masalah
keterbatasan lahan
A17 Ketersediaan lokasi
A18 Ketersediaan teknologi
A19 Kemudahan penerapan teknologi
(kemudahan
operasional)
A20 Ketersediaan SDM yang memahami
teknologi
A21 Pemanfaatan sumberdaya
Gambar 8.
Model AHP alternatif pengolahan
sampah
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
144
Sensitivitas Terhadap Peningkatan
Preferensi Aspek Lingkungan
Sensitivitas Terhadap Peningkatan
Preferensi Aspek Teknologi
Sensitivitas Terhadap Peningkatan
Preferensi Aspek Ekonomi
Sensitivitas Terhadap Peningkatan
Preferensi Aspek Sosial
Gambar 9.
Analisis sensitifitas aspek sosial,
lingkungan, ekonomi dan teknologi
Jika diasumsikan terjadi peningkatan
preferensi
aspek lingkungan sedemikian rupa
sehingga
secara kuantitif nilai bobotnya
mencapai 52,3
% dari preferensi awal (26,0%),
ternyata
pengomposan tetap memiliki nilai
bobot tertingg
i yaitu 42,5%. Hal ini menunjukkan,
jika pada
suatu saat pertimbangan terpenting
dalam menentukan jenis pengolahan sampah di Jakarta adalah
aspek lingkungan, yang berarti pula
aspek sosial
, ekonomi, dan teknis relatif tidak
menjadi
masalah, maka pengomposan merupakan
teknologi yang menjadi prioritas utama untuk
diterapkan. Demikian pula pada
analisis sensitifitas terhadap aspek teknologi dan ekonomi,
analisis sensitivitas yang dilakukan
terhadap
aspek teknologi menunjukkan bahwa
jika nilai bobot
aspek tersebut meningkat dari 5,9%
menjadi 50%, maka nilai bobot pengomposan akan mencapai
42% dan merupakan prioritas utama.
Kondisi se
perti ini mengindikasikan aspek
teknis menjadi
pertimbangan yang paling utama dalam
menentukan teknologi.
Analisis sensitivitas yang dilakukan
terhadap aspek ekonomi menunjukkan bahwa jika nilai
bobot aspek ekonomi meningkat dari
14,3%
hingga mencapai 50%, maka nilai
bobot
pengomposan akan mencapai 46,4% dan
merupakan prioritas utama. Hal ini menunjukkan bahwa
pertimbangan ekonomi sangat kuat
mendominas
i keputusan penentuan pengolahan
sampah.
Meningkatnya preferensi aspek
ekonomi akan meningkatkan nilai bobot pengomposan. Jika
pertimbangan investasi yang rendah,
biaya operasional yang rendah, dan kemungkinan
menghasilkan PAD menjadi titik berat
penentuan
teknologi pengolahan sampah di DKI
Jakarta,
maka prioritas utama alternatif
pengolahan sampah jatuh pada pengomposan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa skala
prioritas penentuan pengolahan sampah di Jakarta relatif tidak
sensitif terhadap peningkatan
preferensi aspek ekonomi
.
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
145
3.3
Cost to Profit
Sebuah perkembangan dalam
pengelolaan sampah adalah merubah paradigma dari
pembiayaan menjadi profit atau
sarana unt
uk mendapatkan keuntungan. Dengan
demikian
pengolahan sampah harus menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat bukan hanya untuk mereduksi
jumlah sampah untuk mengurangi
pencemaran ai
r, udara dan tanah,akan
tetapi juga dapat
bermanfaat terhadap pemenuhan
kebutuhan masy
arakat. Ada beberapa pengolahan
sampah yang
dapat dikembangkan untuk
menghasilkan produk ya
ng mempunyai nilai jual, yaitu
pengomposan,
recycle
(daur ulang), dan
waste to energy
(sampah untuk energi).
Tabel 4 memperlihatkan hasil
perhitungan kelayakan untuk pengomposan,
recycle
, dan
waste to energy
. Secara keseluruhan biaya operasi
atau
produksi untuk membuat satu ton
kompos
adalah sebesar Rp
355.500, sedangkan harga kompos Rp
500/kg. Dalam hal ini, kondisi
Break
Event Point
(BEP) dapat dicapai jika
penjualannya mencapai 711 ton. Sedangkan dilihat dari
sudut
Benefit-Cost ratio
(B/C) yang merupakan perbandingan
hasil penjualan dengan biaya
operasi adalah sebesar 1,41%,
artinya dengan
biaya operasi Rp 355.500 akan
mendapatkan
keuntungan 1,41 kalinya. Hal ini
menunjukkan bahwa pengomposan sangat layak dilaksanakan.
Sedangkan ditinjau dari
Return of Invesment
(ROI) yang merupakan ukuran
perbandingan antara
keuntungan dengan biaya operasi,
didapatkan nilai ROI sebesar 0,406, artinya untuk setiap Rp 100
yang dikeluarkan akan didapatkan
keuntungan Rp 0,406. Jika diasumsikan 55% atau 330 ton
(55% x 6000 ton) sampah penduduk DKI
Jakarta dijadikan kompos, maka akan didapat
keuntungan sebesar Rp 867.000 dalam
sehari. Pemda DKI Jakarta bukan hanya dapat mereduksi
timbunan sampah tetapi dapat mena
mbah Pendapatan
Asli Daerah (PAD).
Untuk sampah organik, maka
alternatifnya adalah mengolah kembali menjadi suatu produk.
Hal ini sudah dilakukan oleh Pemda
DKI Jakarta dengan
pilot project
di daerah Cempaka Putih
dan Rawa Sari. Tabel 4
memperlihatkan hasil perhitungan kelayakan jika daur ulang
dilaksanakan.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa
Benefit-Cost ratio
(B/C) untuk
recycle
mempunyai nilai
lebih kecil dari 1, artinya
recycle
lebih baik tidak dilaksanakan karena
biaya operasional lebih
besar dari hasil penjualan. Selisih
hasil penjualan dengan biaya operasi adalah –Rp 9.945.947
sehingga jika akan dilaksanakan
harus mendapatkan subsidi sebesar Rp 10.000 yang bisa didapat
dari retribusi kebersihan.
Terdapat dua alternatif unt
uk pengolahan sampah menjadi
energi, yaitu energi yang
memanfaatkan gas methana (yang
dihasilkan akibat penumpukan sampah), dan yang kedua
adalah energi yang dihasilkan dengan
mema
nfaatkan panas dari hasil pembakaran
atau
incenerator
. Perhitungan kelayakan pelaksanaan
waste to energy
dilakukan dengan alternatif yang
kedua. Hal ini dikarenakan
alternatif pertama tidak memberikan dampak pada reduksi sampah di
TPA dan gas methana yang dihasilkan
relatif lama (± 3 tahun).
Keseluruhan biaya operasi atau
produksi untuk
membuat satu MWatt li
strik adalah sebesar
Rp
433.000.000 dengan harga listrik Rp
450/kg. Satu MWatt listrik yang dihasilkan mampu
memenuhi 10.000 pelanggan dengan
pemakaian rata-rata 100 Kwh per bulan dan voltase rumah
tangga 450 – 900 VA. Keuntungan yang
akan didapat adalah sebesar Rp 16.000.000. Dilihat dari
Benefit-Cost ratio
(B/C) yang merupakan perbandingan
hasil penjualan dengan biaya operasi
adalah 1,037%, artinya dengan biaya
operasi
sebesar Rp 433.000.000 akan
didapatkan
keuntungan 1,037 kalinya. Sehingga
waste to energi
sangat layak dilaksanakan. Sedangkan
ditinjau dari
Return of Invesment
(ROI) yang merupakan ukuran
perbandingan antara keuntungan
dengan biaya operasi, didapatkan
nilai ROI sebe
sar 3,687; artinya untuk setiap Rp
100 yang
dikeluarkan akan didapatkan
keuntungan Rp 3,687.
et al.
/ Model Dinamis Pengelolaan Sampah /
JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147
146
Tabel 4.
BEP, B/C rasio, ROI untuk
pengomposan,
recycle
dan
waste to energy
(WTE)
Jumlah
Uraian
Pengomposan
Recycle
Waste to energy
Bahan baku Rp 74.500 / ton Rp 1.684.000 Rp 8.500.000
Tenaga kerja Rp 20.000 / ton Rp 15.000.000 Rp 30.000.000
Listrik Rp 100.000 / ton Rp 1.400.000 Rp 280.000.000
Bahan bakar Rp 150.000 / ton Rp 750.000
Maintenance
Rp 10.000 / ton Rp 650.000
Rp 112.500.000
Depresiasi unit Rp 10.000 / ton Rp 461.970 Rp 3.000.000
Biaya produksi Rp 355.500 / ton Rp 19.945.970 Rp 434.000.000
Harga /kg Rp 10.000 Rp 450
Hasil penjualan Rp 500.000 / ton 10.000.000 Rp 450.000.000
Saldo Rp 144.500 / ton (9.945.970) Rp 16.000.000
BEP 711 1.994,60 1.000.000
B/C 1,406469761 0,50 1,037
ROI 0,406 (49,86) 3,687
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa, baik
dengan sist
em dinamis maupun skala prioritas
AHP serta
Benefit-Cost ratio
(B/C), maka sebaiknya pengelolaan
sampah yang dilakukan oleh pemerintah
daerah DKI Jakarta dilakukan secara
bertahap
, pertama adalah dengan pengomposan.
Hal ini
didasarkan pada pertimbangan dari
permasalahan yang ada (pencemaran, penolakan dari
masyarakat, dan lain sebagainya),
dan pertimbangan dari setiap kriteria dari semua aspek
(terutama aspek sosial yang memp
unyai preferensi terbesar di
banding dengan aspek yang lain
yaitu 53,8%), dan juga berdasarkan
kelayakan investasi (B/C rasio sebesar 1,41), serta faktor
penurunan tumpukan sampah yang cukup
tinggi.
Kedua adalah dengan
incenerator.
Pengolahan sampah dengan
incenerator
dapat dilakukan
setelah adanya sosialisasi kepada
masyarakat,
sehingga potensi konflik dapat
diredam disamping
potensi pemanfaatan yang positif
baik dili
hat dari kelayakan investasi dengan
nilai
Benefit-Cost
ratio
(B/C) lebih besar dari satu (1,04)
maupun
efektivitas penurunan timbunan
sampah (66%)
0 komentar:
Posting Komentar